Saturday, March 7, 2020

Feminisme dan sejarah Hari perempuan 23 februari di kalender julian di rusia.



Sejarah Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day bermula dari aksi unjuk rasa kaum wanita di New York yg di prakarsai oleh Partai Sosial Amerika pada 08 maret 1909.

tentang perayaan ini di kemukakan untuk pertama kalinya pada saat memasuki abad ke-20 di tengah-tengah gelombang industrialisasi dan ekspansi ekonomi yg menyebabkan timbulnya protes-protes mengenai kondisi kerja.

Hari bersejarah itu jatuh pada tanggal 23 februari di kalender Julian yg di gunakan di rusia atau tanggal, 8 maret menurut kalender Gregorian atau kalender masehi.

Hari Perempuan Sedunia sebelumnya sempat menghilang, namun dengan bangkitnya feminisme pada tahun 1960-an, perayaan ini di rayakan kembali sampai akhirnya pada tahun 1975, PBB mulai mensponsori Hari Perempuan Sedunia sebagai perayaan Internasional yg ditujukan untuk seluruh perempuan di dunia.

Indonesia Tanpa Feminis mempertentangkan ide feminisme dengan Islam. Mereka berkesimpulan bahwa feminisme merupakan produk Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Memang, tuduhan itu tidak salah jika dilihat dari perspektif sejarah. Alasannya, sebagai sebuah gerakan politik, kesadaran tentang feminisme muncul pertama kali pada tahun 1792 di Inggris. Yakni, lewat buku berjudul ‘A Vindication of the Rights of Woman’ karya filsuf Inggris, Mary Wollstonecraft.

Wollstonecraft menerbitkan buku tersebut usai revolusi Prancis meletus. Kala itu, dia melihat adanya partisipasi politik yang timpang antara laki-laki dengan perempuan. Untuk itu, dia menilai, penggulingan monarki absolut seharusnya dapat menjadi momentum bagi perempuan untuk bergerak.

"Telah tiba waktunya untuk mempengaruhi sebuah revolusi melalui cara perempuan. Telah tiba waktunya untuk memulihkan kewibawaan perempuan yang telah hilang,” tulis Wollstonecraft.

Menariknya, Wollstonecraft sama sekali tak menggunakan istilah feminisme dalam bukunya tersebut. Kala itu, kesadaran tentang ketidakadilan yang menimpa perempuan biasa diterjemahkan sebagai gerakan perempuan (women’s movement).

Sebab sebagai sebuah istilah, feminisme justru baru muncul pada tahun 1808. Istilah itu digunakan filsuf Prancis Charles Fourier untuk menggambarkan sosialisme utopis. Kala sekat antara perempuan dan laki-laki lenyap dalam relasi sosial.

Meski percaya bahwa otoritas tubuh perempuan milik perempuan, FEMEN tidak mengizinkan anggotanya untuk menutup aurat. Sebaliknya, aurat dianggap sebagai manifestasi dari budaya patriarki. Di tangan FEMEN, perempuan berhijab yang mengaku feminis pun akan dicap sebagai musuh.

Pendefinisian feminisme yang seperti itu jelas bukan tanpa kritik. Filsuf feminis Prancis Julia Kristeva misalnya, yang mengatakan kebebasan di dalam feminisme justru terletak pada individu, bukan kelompok. Selama perempuan memilih untuk berhijab atas kesadarannya sendiri, serta tanpa paksaan, maka itu tak jadi soal.

Otoritas tubuh yang dipahami Kristeva barangkali terdengar lebih bijak. Dalam sebuah suratnya kepada Ketua Komnas HAM Prancis pada 1990, Kristeva menyebut, pemerintah Prancis bertindak menindas dengan tak mengizinkan pelajar untuk mengenakan hijab.

Pada akhirnya, gagasan feminisme bukanlah hal yang final. Konsep feminisme akan terus berkembang sebagai ikhtiar untuk mendekati keadilan. Yang terbaik lantas bukan menolak feminisme.

Itu karena, tanpa ada istilah feminisme pun perjuangan perempuan terhadap keadilan tak dapat dibendung. Ini persis seperti Wollstonecraft yang mendeteksi adanya ketidakadilan, meski dia tak menamakannya sebagai feminisme.



No comments:

Post a Comment